Apa Hubungan Selat Muria dengan Banjir Parah di Demak? Ini Fakta Sejarahnya
JAKARTA - Apa hubungan Selat Muria dengan banjir parah di Demak? Ini fakta sejarahnya yang jarang orang ketahui. Hal ini dikarenakan tanggul Sungai Irigasi Jratun Seluna, di Dukuh Tugu, Desa Ngemplik Wetan, Kecamatan Karanganyar, kembali jebol, pada Minggu 17 Maret 2024, sore.
Bertambahnya titik tanggul yang jebol memperparah kondisi banjir dan memaksa puluhan ribu warga mengungsi. Sedikitnya ada 88 desa tercatat terendam banjir. Apalagi banyak orang menilai hilangnya Selat Muria membuat wilayah ini tidak bisa menampung volume air banyak.
Lantas apa hubungan Selat Muria dengan banjir parah di Demak? Ini fakta sejarahnya yang jarang orang ketahui.
Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selat ini dulunya merupakan daerah perdagangan yang ramai, dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana.
Pada sekitar tahun 1657, endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.
Pada masa glasial, sekira 600.000 tahun yang lalu, Gunung Muria beserta pegunungan kecil di Patiayam dulunya bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Hal itu terjadi karena saat itu suhu bumi turun dalam waktu yang lama.
Sehingga permukaan laut turun rata-rata 100 meter. Namun pada interglasial, kondisi itu berbalik. Suhu bumi meningkat menyebabkan es mencair. Alhasil volume air laut meningkat membuat dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa terpisah oleh laut dangkal yang tidak terlalu lebar hingga menjadi selat.
Selat Muria adalah jalur perdagangan dan transportasi yang ramai dilalui. Selat itu menjadi jalan antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau lainnya.
Karena adanya selat ini, masyarakat yang ingin bepergian antara Kudus dan Demak harus menggunakan kapal. Keberadaan selat ini pulalah yang dahulu membuat Kerajaan Demak menjadi kerajaan maritim.
Selain itu, keberadaan selat tersebut juga menjadikan kawasan Selat Muria sebagai lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jukung Jawa yang terbuat dari kayu jati yang banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng yang terletak di sebelah selatan selat.
Keberadaan industri galangan kapal menjadikan daerah ini lebih kaya dibandingkan dengan pusat Kerajaan Majapahit, sehingga daerah ini yang didominasi oleh para pedagang muslim yang dijuluki oleh Tomé Pires (penulis Portugis) sebagai "penguasa kapal jung.